Fenomena “Ngantor di Coffee Shop”
Pernahkah Anda melintas di sebuah coffee shop pada siang hari lalu melihat banyak orang dengan laptop, headphone, dan segelas kopi di meja mereka? Fenomena ini kini bukan hal asing lagi, terutama di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Tren “ngantor di coffee shop” semakin populer, terutama setelah pandemi COVID-19 yang mengubah pola kerja tradisional menjadi lebih fleksibel.
Bagi sebagian orang, bekerja di coffee shop adalah bagian dari gaya hidup modern. Namun, bagi yang lain, hal ini dianggap sebagai cara meningkatkan produktivitas dan kreativitas. Pertanyaan pun muncul: apakah fenomena ini sekadar lifestyle semata, atau memang terbukti lebih efektif dibanding bekerja di kantor tradisional maupun rumah?
Artikel ini akan membahas sejarah tren ini, faktor pendorong, kelebihan dan kekurangan, hingga bagaimana perusahaan dan pekerja bisa mengambil manfaat dari “kantor kopi” sebagai salah satu alternatif cara kerja di era digital.
1. Sejarah Singkat: Dari “Third Place” ke “Kantor Kopi”
Konsep “third place” (tempat ketiga) pertama kali populer dalam kajian sosiologi. Jika rumah adalah tempat pertama, kantor sebagai tempat kedua, maka coffee shop hadir sebagai tempat ketiga—ruang sosial sekaligus produktif.
Di awal tahun 2000-an, fenomena freelancer dan digital nomad mulai memanfaatkan coffee shop sebagai tempat kerja. Kehadiran internet gratis (Wi-Fi), stop kontak, serta suasana santai membuat coffee shop menjadi pilihan populer. Di Indonesia, tren ini mulai merebak sekitar tahun 2010-an seiring maraknya bisnis kopi lokal dan global seperti Starbucks, Kopi Kenangan, Filosofi Kopi, dan Janji Jiwa.
2. Mengapa Orang Suka Bekerja di Coffee Shop?
Ada beberapa alasan mengapa pekerja, terutama generasi muda, memilih coffee shop sebagai tempat kerja:
- Fleksibilitas: Tidak terikat jam kantor.
- Suasana yang Inspiratif: Interior yang modern, musik latar, dan aroma kopi dapat memicu kreativitas.
- Networking: Coffee shop sering jadi tempat bertemu klien, kolega, atau bahkan menemukan peluang bisnis baru.
- Efisiensi Waktu: Terletak di lokasi strategis, coffee shop menjadi titik temu yang praktis.
- Work-Life Balance: Ngantor di coffee shop menghadirkan nuansa santai meski tetap produktif.
3. Lifestyle atau Produktivitas?
Fenomena ini memunculkan dua pandangan berbeda:
- Lifestyle:
- Bekerja di coffee shop sering dianggap bagian dari gaya hidup urban.
- Banyak yang melakukannya untuk citra “kekinian” dan terlihat produktif di media sosial.
- Coffee shop juga menjadi simbol status sosial, terutama bagi kalangan milenial di perkotaan.
- Produktivitas:
- Studi menunjukkan bahwa suasana dengan tingkat kebisingan moderat (seperti di coffee shop) justru dapat meningkatkan kreativitas.
- Lingkungan yang berbeda dari kantor atau rumah membuat otak lebih segar.
- Coffee shop menyediakan atmosfer yang memicu fokus, terutama untuk pekerja remote, freelancer, atau mahasiswa.
4. Dampak Positif Bekerja di Coffee Shop
- Meningkatkan Kreativitas: Lingkungan yang dinamis membuat ide lebih mudah muncul.
- Fokus pada Deadline: Karena waktu terbatas (misalnya hanya sampai kopi habis atau baterai laptop drop), orang cenderung lebih disiplin.
- Networking Lebih Luas: Coffee shop sering menjadi tempat bertemu berbagai kalangan.
- Rasa Komunitas: Adanya pekerja lain di sekitar menciptakan semacam “peer pressure” untuk ikut produktif.
5. Tantangan dan Kekurangan “Ngantor di Coffee Shop”
- Biaya Tambahan: Harus membeli minuman/ makanan, bisa lebih mahal daripada bekerja dari rumah.
- Keterbatasan Privasi: Sulit untuk melakukan rapat online yang serius di ruang publik.
- Distraksi: Suara bising, antrean, atau keramaian bisa mengganggu fokus.
- Ketergantungan Fasilitas: Jika Wi-Fi lambat atau stop kontak terbatas, produktivitas bisa terganggu.
- Kesehatan: Duduk lama di kursi coffee shop yang tidak ergonomis bisa memicu masalah kesehatan.
6. Tren di Indonesia: Data dan Fakta
- Menurut survei [Hipwee X JAKPAT 2024], sekitar 64% anak muda Indonesia pernah bekerja atau belajar di coffee shop.
- Gen Z mendominasi pengguna coffee shop sebagai tempat kerja, disusul milenial.
- Kota dengan jumlah coffee shop terbanyak di Indonesia adalah Jakarta (lebih dari 2.500 kedai kopi), Bandung, dan Yogyakarta.
- UMKM kopi lokal tumbuh signifikan, banyak di antaranya menjadikan coffee shop sebagai ruang kerja bersama.
7. Perbandingan: Coffee Shop vs Kantor vs Rumah
Aspek | Coffee Shop | Kantor | Rumah |
Fleksibilitas | Tinggi | Rendah | Tinggi |
Biaya | Menengah (kopi) | Ditanggung kantor | Rendah |
Suasana | Santai & kreatif | Formal & teratur | Nyaman tapi rawan distraksi |
Networking | Tinggi | Tinggi (internal) | Rendah |
Produktivitas | Sedang–tinggi | Tinggi | Bervariasi |
8. Perspektif Perusahaan dan HR
Dari sudut pandang perusahaan, tren “ngantor di coffee shop” menimbulkan pro dan kontra.
- Pro:
- Karyawan lebih fleksibel → kepuasan kerja meningkat.
- Cocok untuk model kerja hybrid.
- Bisa menekan biaya kantor jika sebagian pekerjaan dialihkan ke remote work.
- Kontra:
- Kontrol produktivitas lebih sulit.
- Risiko keamanan data jika menggunakan Wi-Fi publik.
- Sulit memastikan jam kerja yang konsisten.
9. Alternatif: Co-Working Space
Seiring berkembangnya tren ini, muncullah co-working space sebagai solusi tengah. Berbeda dengan coffee shop, co-working space dirancang khusus untuk bekerja: ada kursi ergonomis, ruang meeting, Wi-Fi stabil, bahkan fasilitas printer. Namun, harga sewa bulanan lebih tinggi dibanding hanya nongkrong di coffee shop.
10. Tips agar Efektif Bekerja di Coffee Shop
Bagi pekerja muda yang ingin menjadikan coffee shop sebagai kantor alternatif, berikut beberapa tips:
- Pilih coffee shop dengan Wi-Fi stabil dan stop kontak memadai.
- Datang di jam sepi agar tidak terganggu.
- Gunakan headphone untuk fokus.
- Beli menu secukupnya sebagai bentuk etika terhadap pemilik usaha.
- Gunakan VPN jika mengakses data sensitif.
11. Prediksi Masa Depan: Lifestyle Permanen atau Tren Sesaat?
Bekerja di coffee shop kemungkinan besar akan tetap menjadi bagian dari gaya kerja generasi muda, khususnya di era digital. Namun, perannya mungkin tidak menggantikan kantor sepenuhnya, melainkan sebagai pelengkap dari sistem hybrid.
Kombinasi antara kantor tradisional, rumah, coffee shop, dan co-working space akan menjadi pola kerja masa depan yang lebih cair dan fleksibel.
Kesimpulan
Fenomena “ngantor di coffee shop” adalah kombinasi antara lifestyle dan strategi kerja efektif. Bagi sebagian orang, ini sekadar gaya hidup urban yang identik dengan citra produktif. Namun, bagi yang lain, coffee shop justru menawarkan ruang kreatif, networking, dan suasana kerja yang lebih menyegarkan.
Pekerja muda Indonesia harus mampu melihat coffee shop bukan sekadar tren, tetapi sebagai salah satu opsi dalam meningkatkan produktivitas. Dengan strategi yang tepat, coffee shop bisa menjadi “kantor ketiga” yang mendukung kreativitas, efisiensi, dan work-life balance.