Berita TUMA, Highlight, News Update

Kenaikan Upah Minimum 6,5%: Solusi atau Hanya Angka?

Setiap akhir tahun, isu kenaikan upah minimum selalu menjadi sorotan utama di Indonesia. Tidak hanya bagi kalangan buruh dan pekerja, tetapi juga bagi pengusaha, pemerintah, hingga para analis ekonomi. Pada tahun 2026, pemerintah meresmikan kebijakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Regional (UMR) rata-rata sebesar 6,5%. Pertanyaannya, apakah kebijakan ini benar-benar mampu menjawab…

Setiap akhir tahun, isu kenaikan upah minimum selalu menjadi sorotan utama di Indonesia. Tidak hanya bagi kalangan buruh dan pekerja, tetapi juga bagi pengusaha, pemerintah, hingga para analis ekonomi. Pada tahun 2026, pemerintah meresmikan kebijakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Regional (UMR) rata-rata sebesar 6,5%.

Pertanyaannya, apakah kebijakan ini benar-benar mampu menjawab kebutuhan hidup pekerja, ataukah hanya menjadi angka simbolis yang tidak banyak memberikan dampak nyata? Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang latar belakang, tuntutan buruh, tanggapan pengusaha, realitas ekonomi makro, serta proyeksi dampak sosial-ekonomi dari kenaikan UMP 6,5%.

Sejarah Singkat Kebijakan Upah Minimum di Indonesia

Sebelum membahas angka 6,5%, penting untuk memahami konteks historis.

  • Awal 1970-an: Konsep upah minimum mulai dibicarakan sebagai bagian dari perlindungan tenaga kerja.
  • 1990-an: Pemerintah mulai serius menetapkan UMR/UMP berdasarkan wilayah.
  • 2015: Diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang menjadi acuan formula penentuan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
  • 2023: Pemerintah meluncurkan PP No. 36 Tahun 2021 sebagai bagian dari UU Cipta Kerja yang merevisi formula penetapan upah minimum.

Dengan sejarah ini, penetapan kenaikan upah selalu menjadi arena tarik-menarik antara kepentingan pekerja, pengusaha, dan pemerintah.

Mengapa 6,5%? Formula Penentuan UMP

Kenaikan 6,5% untuk tahun 2026 tidak muncul secara tiba-tiba. Pemerintah menggunakan formula yang mempertimbangkan:

  1. Inflasi tahunan – sebesar 3,2% pada 2025.
  2. Pertumbuhan ekonomi – mencapai 5,4% sepanjang tahun 2025.
  3. Produktivitas & daya beli masyarakat.

Dari hasil perhitungan itu, disepakati rata-rata nasional kenaikan upah minimum sebesar 6,5%. Namun, tiap provinsi tetap bisa berbeda, tergantung kondisi ekonomi daerah masing-masing.

Tuntutan Buruh: Lebih dari Sekadar Angka

Buruh menilai kenaikan 6,5% masih jauh dari harapan. Beberapa alasan yang mereka sampaikan:

  • Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terus meningkat, terutama di kota besar.
  • Harga pangan naik lebih cepat dibandingkan angka inflasi resmi.
  • Biaya transportasi, kesehatan, dan pendidikan menekan pendapatan pekerja.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bahkan mengajukan tuntutan kenaikan 10–12%, dengan alasan bahwa pandemi dan inflasi global telah menurunkan daya beli masyarakat pekerja.

Tanggapan Pengusaha: Kenaikan Bisa Menjadi Beban

Di sisi lain, kalangan pengusaha menilai kenaikan 6,5% sudah cukup tinggi. Beberapa asosiasi, termasuk Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), menekankan beberapa poin:

  1. Biaya produksi meningkat – kenaikan upah otomatis menambah beban operasional.
  2. Dampak ke sektor padat karya – industri tekstil, sepatu, dan manufaktur akan paling terdampak.
  3. Risiko PHK massal jika kenaikan tidak diimbangi produktivitas.

Mereka menilai, jika kenaikan dilakukan secara seragam tanpa mempertimbangkan kemampuan industri, maka potensi relokasi usaha atau pengurangan tenaga kerja tidak bisa dihindarkan.

Pemerintah di Tengah Dua Kepentingan

Sebagai regulator, pemerintah berada di posisi sulit:

  • Jika terlalu berpihak pada buruh, pengusaha bisa menahan investasi.
  • Jika terlalu berpihak pada pengusaha, buruh bisa melakukan aksi mogok nasional.

Oleh karena itu, angka 6,5% dianggap kompromi: cukup untuk menjaga daya beli, namun tidak terlalu membebani pengusaha.

Menteri Ketenagakerjaan juga menekankan bahwa kebijakan ini harus diikuti dengan strategi peningkatan produktivitas melalui pelatihan, digitalisasi, dan inovasi kerja.

Realitas Ekonomi Makro

Apakah 6,5% sudah sesuai dengan kondisi ekonomi Indonesia? Mari kita lihat beberapa indikator:

  • Pertumbuhan Ekonomi 2025: 5,4%
  • Inflasi: 3,2%
  • Kurs Rupiah stabil di kisaran Rp 15.000–15.200 per USD
  • Investasi asing meningkat 7% dibanding tahun sebelumnya

Secara makro, ekonomi Indonesia cukup stabil. Namun, kestabilan makro tidak selalu berarti perbaikan daya beli masyarakat kecil. Banyak pekerja masih mengeluh gaji mereka hanya cukup untuk kebutuhan dasar, tanpa ruang untuk tabungan atau investasi.

Dampak Kenaikan 6,5% Terhadap Pekerja

Bagi pekerja, kenaikan ini memberikan tambahan penghasilan, meski terbatas.

  • Pekerja level entry: bisa menikmati tambahan Rp 200.000–Rp 400.000 per bulan.
  • Pekerja dengan keluarga: tambahan ini mungkin hanya cukup untuk biaya transportasi atau kebutuhan sekolah anak.
  • Pekerja di kota besar: dampaknya minim, karena biaya hidup Jakarta, Surabaya, atau Medan jauh lebih tinggi.

Dengan demikian, kenaikan ini memang membantu, tetapi belum tentu menyelesaikan masalah kesejahteraan.

Dampak Terhadap Perusahaan

Bagi perusahaan, terutama sektor padat karya, kenaikan 6,5% berarti:

  • Efisiensi ketat – banyak yang akan mengurangi biaya non-produktif.
  • Digitalisasi – perusahaan cenderung mengganti tenaga kerja dengan teknologi.
  • Outsourcing – tren alih daya semakin meningkat untuk menekan biaya tetap.

Beberapa pengusaha juga mempertimbangkan untuk mengalihkan investasi ke daerah dengan upah lebih rendah atau bahkan ke luar negeri.

Dampak Sosial dan Konsumsi

Kenaikan upah tentu berimbas pada konsumsi masyarakat. Dengan daya beli meningkat, sektor ritel, kuliner, dan transportasi diperkirakan ikut terdorong.

Namun, ada risiko kenaikan harga barang karena pengusaha mencoba menutupi biaya produksi yang lebih tinggi. Jika ini terjadi, maka kenaikan upah hanya akan kembali tergerus oleh inflasi.

Perdebatan Publik: Solusi atau Ilusi?

Kebijakan 6,5% memunculkan pro dan kontra di masyarakat:

  • Pro:
    • Menjaga daya beli.
    • Membantu pemulihan pasca-pandemi.
    • Memberi sinyal positif bagi stabilitas sosial.
  • Kontra:
    • Tidak sesuai kebutuhan nyata di lapangan.
    • Bisa mendorong PHK dan relokasi industri.
    • Hanya solusi jangka pendek, bukan reformasi struktural.

Strategi Jangka Panjang yang Dibutuhkan

Kenaikan upah bukan satu-satunya solusi. Ada beberapa strategi jangka panjang yang perlu dilakukan:

  1. Meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui pelatihan vokasi.
  2. Mendorong industri bernilai tambah tinggi agar tidak bergantung pada sektor padat karya.
  3. Digitalisasi UMKM dan industri agar efisien.
  4. Reformasi sistem jaminan sosial sehingga beban kebutuhan dasar tidak hanya bergantung pada gaji.

Kesimpulan

Kenaikan upah minimum sebesar 6,5% pada 2026 membawa harapan sekaligus tantangan. Bagi buruh, kenaikan ini terasa kecil dibanding kebutuhan hidup. Bagi pengusaha, angka ini bisa menjadi beban tambahan. Bagi pemerintah, ini adalah jalan tengah yang harus terus dikawal.

Pertanyaannya tetap sama: apakah kenaikan ini benar-benar solusi bagi kesejahteraan pekerja, ataukah hanya angka kompromi yang tidak menjawab akar masalah? Jawaban itu akan sangat tergantung pada bagaimana pemerintah, pengusaha, dan pekerja mampu berkolaborasi menghadapi perubahan ekonomi global, menjaga produktivitas, dan menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan

Siap Bermitra?

Wujudkan Talenta Unggul Bersama Jasa Outsourcing Terpercaya!

Kami berkomitmen menghadirkan talenta berkualitas dengan perpaduan hard skill dan soft skill terbaik, demi mendukung kinerja dan pertumbuhan bisnis Anda.

Hubungi Kami